Berikut ini adalah
ceramah yang disampaikan oleh Hj. Neno Warisman, ibu dari tiga orang anak.
Ceramah ini disampaikan di Sydney, September 2006. Tema yang disampaikan oleh
Mbak Neno adalah mengenai pendidikan dini terhadap anak.
Selengkapnya, silahkan download file MP3 berikut (klik kanan dan save target as):
- PendidikanDini1.mp3 (18 Mbytes)
- PendidikanDini2.mp3 (5 Mbytes, sesi tanya jawab)
Selengkapnya, silahkan download file MP3 berikut (klik kanan dan save target as):
- PendidikanDini1.mp3 (18 Mbytes)
- PendidikanDini2.mp3 (5 Mbytes, sesi tanya jawab)
Lagu berikut digubah
dan diperkenalkan oleh Mbak Neno dan Bu Elly Risman (praktisi pendidikan anak)
dalam mengajarkan anak mengenai tauhid:
Allah bersamaku selalu
Allah menyaksikanku
Allah memperhatikanku ... selalu
Aku mencintai Allah selalu
Allah memenuhi kebutuhanku
Allah ... Allah... Tuhanku
Allah ... Allah... Tuhanku... satu...
Allah bersamaku selalu
Allah menyaksikanku
Allah memperhatikanku ... selalu
Aku mencintai Allah selalu
Allah memenuhi kebutuhanku
Allah ... Allah... Tuhanku
Allah ... Allah... Tuhanku... satu...
Semoga kita semua bisa mendapatkan manfaatnya. Amiin.
Sumber: http://www.pks-anz.org/
----------------------------------------------------------------------------
Another Article
Berantem
Itu Baik!
Written By: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting
School | www.auladi.org
Ayah, Bunda,
suatu saat beberapa orangtua menghampiri saya dan seorang diantaranya
mengatakan “Abah, saya masih belum bisa menghentikkan anak berantem. Aduhh
hampir tiap hari itu kakak-adik berantem melulu! Bagaimana mengatasinya, saya
pusing melihatnya tiap hari seperti itu.” Lalu seorang ibu lain menimpali
disebelahnya “Sama anak saya juga seperti itu. Kenapa sih anak-anak ini rajin
banget berantem!”
Lalu saya
katakan kepada mereka ada beberapa hal yang dapat mereka lakukan agar mereka
tidak pusing. “Pertama, ucapkan kalimat ‘alhamdulillah!’ saat mereka berantem
dan jangan ‘astaghfirullah’. Kedua, bersahabatlah dengan berantem, jangan
musuhi berantem karena berantem itu baik.”
“Nah lho?!”,
bengong tuh parents....
Lalu saya balik
bertanya pada mereka, “adakah anak yang memiliki saudara di rumah yang bebas
dari berantem alias tidak pernah berantem?” Sebagian besar menggeleng, tapi
seorang ibu mengangkat tangan “Anak-anak saya tak pernah berantem tuh! Tak
pernah pukul-pukullan!”
“Mereka pernah
marahan kan?
Mereka pernah berbeda pendapat kan?
Mereka pernah rebutan mainan kan?”
tanya saya.
“Oh iya ya”.
“Berantem itu
memang ‘wajib’ pukul-pukullan, tidak kan
bu?”
“Wah kalau
begitu memang semua anak berarti pernah berantem ya Bah....”
***
Ayah, Bunda,
hampir semua anak yang memiliki saudara pasti pernah merasakan konflik. Konflik
yang sering disebut dengan ‘bahasa pasar’ berantem ini bentuk bisa macam-macam,
ada yang hanya berbeda pendapat, rebutan barang/makanan/mainan, hingga ada yang
melibatkan fisik. Jika hampir tidak ada satu pun anak yang bebas dari
pengalaman berantem, bukankah berarti berantem itu seperti sengaja diciptakan
Tuhan untuk tujuan baik?
Ya, saya ingin
mengatakan kepada semua orang, awalnya konflik itu bagi anak adalah baik! Hal
yang semua anak akan mengalaminya. Sehebat apapun orangtua mendidik anak,
orangtua tidak bisa menghindarkan anaknya dari konflik. Konflik bagi orang
dewasa tidaklah terlalu baik, tapi bagi anak, terutama anak-anak usia 12 tahun
ke bawah konflik adalah kebutuhan! Bahkan, seorang pakar tumbuh kembang
menganggap anak yang tak pernah bertengkar justru tidak normal! Nah, karena
sebuah kebutuhan, pengalaman konflik pada anak-anak akan terus berulang. Meski
sebagian orangtua tidak menyukainya dan meski orangtua ‘ratusan kali’
mengatakan ‘jangan berantem terus deh, berantem itu tidak baik!’
Betapa tidak
dibutuhkan, dari satu pengalaman hidup di masa kecil inilah anak-anak akan
(seharusnya) mendapatkan bekal untuk menghadapi konflik hidup di masa depan.
Tidak ada satu manusia pun setelah dewasa yang bebas dari konflik bukan? Karena
itu, konflik pada anak seperti sengaja diciptakan Tuhan agar anak-anak kita
dapat belajar bagaimana mereka kelak mengelola konflik di masa depan. Seperti
seorang anak harimau atau kucing, yang saat mereka masih kecil sering terlihat
bermain-main cakar-cakaran, konflik di masa kanak-kanak adalah ajang latihan
bagi anak menghadapi konflik di masa depan. Ada banyak dari kita yang memiliki kompetensi
hebat di bidang pekerjaan yang kita geluti, tapi karena tidak bisa menghadapi
konflik membuat kita menjadi tak nyaman berlama-lama di tempat kerja.
Setiap adik-kakak
pasti akan bertengkar. Bahkan adik-kakak 700 persen kali lebih sering
bertengkar ketimbang dengan teman sebayanya masing-masing. Karena, mereka tahu,
bahwa adik atau kakaknya akan selalu ada, tidak akan pergi. Menurut studi,
adik-kakak yang bermain bersama, meski saling mengejek, memiliki hubungan yang
lebih dekat ketimbang adik-kakak yang bermain terpisah. Istilahnya
Adik-kakak lebih baik berisik karena bertengkar ketimbang damai tapi berpisah.
Berpisah dalam artian saling tak mau menyapa dan bergaul karena satu membenci
yang lain.
Konflik pada awalnya
adalah baik bagi anak. Konflik berubah menjadi tidak baik saat orangtua tidak
mengelola konflik anak dengan baik. Apalagi jika saat konflik, orangtua yang
selalu menyelesaikan masalah. Akhirnya, anak tidak belajar apapun dari
pengalaman konflik yang mereka alami. Saat misalnya seorang adik rebutan mainan
dengan kakaknya, sebagian orangtua menyelesaikannya dengan mengatakan pada si
kakak “Kakak, ngalah dong sama adik! Adik kan masih kecil....”
Ayah, Bunda, jika
penyelesaiannya seperti itu, lihatlah ternyata bukan hanya kita tak melatih
anak menghadapi konflik, tapi justru kita melebarkan konflik pada anak.
Lihatlah, ternyata praktik ketidakadillan juga dapat dimulai dari rumah bukan?
Mengapa seorang kakak harus selalu mengalah pada adik? Adikknya masih lemah,
begitu alasannya? Tapi, sampai umur berapa adik masih terus dibela? Mengapa
kebenaran ditentukan oleh usia? Mengapa jika kakak membuat adik kecewa, dihukum?
Mengapa jika adik yang melakukannya, adik tidak dihukum?
Saat dua orang anak
rebutan satu buah roti misalnya, sebagian orangtua menyelesaikannya dengan
jalan instan dengan cara membagi roti itu jadi dua untuk anaknya “yang ini buat
kakak yang itu buat adik”. Lihatlah praktik ini? Anak memang berhenti dari
konflik (sementara), tapi siapa yang menyelesaikan masalahnya? Orangtua bukan?
Mengapakah bukan anak yang dilatih untuk menyelesaikan masalahnya sendiri?
Atau solusi lain yang
sering dilakukan orangtua adalah selalu membelikan yang sama untuk semua anak,
supaya tak rebutan! Jika anaknya dua, maka kuenya selalu dua dengan rasa yang
sama. Jika anaknya laki-laki dua-duanya, maka saat beli mainan mobil-mobilan,
dibelilah mobil dengan model yang sama.
Jika solusinya
seperti ini, sepintas ayah ibu melihat ini sebagai solusi. Tapi sebetulnya
secara jangka panjang, efeknya anak jadi sulit menemukan identitas diri, karena
dia bingung membedakan antara dirinya dengan saudara kandungnya.
Ayah, Bunda, yuk bantu
anak kita mengelola konflik dengan baik. Konflik adalah sarana yang diciptakan
Allah untuk anak belajar, belajar mengelola kehidupan. Yuk, bimbing mereka
mengelola konflik.
1.Bersahabat dengan
konflik
Hal yang pertama kali
harus Ayah dan Bunda fahami, konflik itu tidak bisa dihindari. Sekuat apapun
kita berusaha, konflik itu akan hadir menghiasi kehidupan anak kita. Meski kita
tidak menyukai dan mungkin anak kita pun bahkan juga tidak menyukainya, konflik
pada anak-anak kita akan terus berulang. Wajar, karena manusia diciptakan Allah
berbeda-beda karena itu akan terjadi perbedaaan keinginan, perbedaan pemahaman,
perbedaan cara bersikap dan berperilaku. Perbedaan-perbedaan itu normal,
sepanjang diekspresikkan dengan cara yang baik dan tidak merugikan siapapun.
Karena itu, saya
mengajak Ayah Bunda semua, yuk bersahabat dengan konflik, bukan memusuhi
konflik. Semakin Ayah Bunda musuhi, maka semakin lelah dan pusinglah pikiran
saat melihat anak-anak kita berkonflik. Maka, coba rubahlah perspesi Anda tentang
konflik. Meski pikiran masih belum menerima, coba bantu tenangkan pikiran Anda
dengan ucapkan kalimat ‘segala puji bagi Allah’ saat Anda melihat fenomena
anak-anak tengah konflik.
Semakin sering
pikiran dan cara berpikir Anda dilatih dari sisi positif, memberikan persepsi
positif atas sebuah peristiwa, termasuk konflik, semakin rileks Anda menghadapi
anak-anak saat mereka tengah konflik.
2.Libatkan Anak
Saat anak terlibat
konflik dengan saudaranya, sah-sah saja Anda terlibat. Tetapi, sebaik-baiknya
penyelesaian adalah yang melibatkan anak itu sendiri. Jika mungkin, orangtua
hanya jadi fasilitator yang bertugas untuk membimbing anak untuk mencari solusi
atas permasalahan yang mereka hadapi. Saat anak dilatih untuk menyelesaikan
sendiri masalah yang ia hadapi, sejak saat itulah anak-anak memiliki modal
untuk menghadapi masalah-masalah yang lebih kompleks di masa depan.
Saat anak terlibat
adu mulut mengenai siapa yang berhak untuk duduk di kursi depan mobil misalnya,
padahal kursi depan mobil dekat supir itu hanya tersedia untuk satu orang, tak
usah terburu-buru menghentikkan konflik anak dengan kalimat-kalimat solutif
dari Anda: “sudah kalau tak ada yang mau ngalah, nggak usah ada yang ikut!”
atau lagi-lagi dengan kalimat kuno “kakak, ngalah dong sama adik!”. Tapi mari
kita kembangkan kalimat-kalimat yang membuat pikiran dan ide anak terlibat
“kursi di depan hanya satu, gimana caranya biar semua kebagian, ayoo siapa yang
mau kasih ide ka ayah?!” Jika anak berkeras dan bertegang untuk tetap ribut barulah
kita bisa beri penekanan dengan kalimat “kalian harus putuskan dulu siapa yang
di depan karena jika tidak kita belum bisa berangkat!” atau kalimat-kalimat
lain yang senada.
Jika anak rebutan
sepotong roti padahal rotinya hanya satu, maka Anda dapat katakan pada mereka
“Rotinya cuma satu, ayoo cari ide, bagaimana agar semuanya kebagian!” inilah
metode yang melibatkan anak (otoritatif). Sedangkan metode lainnya adalah
metode yang mengedepankan kekuasaan (otoriter) orangtua untuk menyelesaikan
masalah anak “Rotinya cuma satu, sini mama bagi... ini buat adik dan ini buat
kakak” atau yang lebih parah “Kalau kalian tak mau berbagi, sini rotinya mama
makan!”
Metode otoritatif
memerlukan sedikit waktu dari Anda untuk bersabar memberi kesempatan anak
menyelesaikan masalah, tetapi secara jangka panjang memudahkan orangtua sendiri
karena tidak harus selalu mengatur dan menyelesaikan semua masalah anak.
Sedangkan metode otoriter mungkin dapat menyelesaikan konflik anak lebih cepat
tetapi secara jangka panjang justru menumpulkan kekuatan pikiran anak dan
akhirnya merepotkan orangtua sendiri karena orangtua harus selalu yang
menyelesaikan terlalu banyak masalah anak yang bahkan pada hal sepele
sekalipun.
Saat Anda memiliki
dua anak, tidak harus dibelikan mainan dengan model yang sama atau makanan
dengan rasa yang sama, biarkan anak memilih sesuai dengan selera mereka sendiri
sepanjang dalam batas budget orangtua dan toleransi orangtua. Yang terbaik,
kalau mau membelikan dua barang, biarlah anak masing-masing memilih yang dia
sukai. Contohnya, kalau mau beli kaus, si kakak mau beli kaus biru, maka adik
boleh cari warna lain, jika sama boleh-boleh saja, tetapi kalau bisa berbeda
dari kakak. Kalau beli mainan, mungkin si adik memilih bola, sementara kakak
diminta cari mainan yang berbeda.
3.Aturan yang jelas
Anak-anak akan terus
kesulitan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi terus mengulangi hal yang
sama berulang-ulang karena kadang-kadang orangtua menerapkan aturan yang
‘samar-samar’ pada anak berkait dengan masalah-masalah yang biasanya dihadapi
anak. Aturan itu untuk mengatasi ketidakaturan bukan? Setiap keluarga harus
memiliki aturan yang jelas di rumah sesuai dengan nilai-nilai yang orangtua
pegang sendiri. Minimal di rumah sendiri karena yang merepotkan jika konflik
ini terjadi dengan anak lain yang bukan saudara anak kita, anak tetangga
misalnya. Untuk ini mungkin ada dapat mengajak bekerjasama dulu dengan para
orangtua anak-anak tempat anak Anda bergaul.
Ada beberapa
aturan yang harus secara jelas menjadi aturan main di rumah kita sendiri:
a. Milik siapa?
Siapapun di
rumah harus meminta izin untuk menggunakan barang/mainan kepunyaan yang lain.
Jika misalnya seorang kakak menginginkan untuk memainkan sepeda adik, maka ia
harus izin sama adik. Jika adik tak mengizinkan, maka orangtua wajib
menegakkan. Demikian juga jika adik memakai barang kakak dan kakak ternyata tak
ridlo, adik harus mengembalikannya. Orangtua harus menegakkannya! Jika adik
menangis, biarkan ia menangis. Jangan sampai keadilan dikalahkan perasaan .
Menangis adalah strategi wajar seorang anak, tapi jika anda konsisten, dijamin,
insya Allah anak menjadi tidak gampang nangis lagi.
Cara mengembalikan
sebaik-baiknya dilakukan metode yang melibatkan anak seperti yang pernah
dicontohkan di atas: "Sekarang itu punya kakak, dan kakak tidak
mengizinkan, kamu mau mengembalikan sendiri atau mama yang ambil dan
kembalikan?" Tentu konsekuensinya berbeda. Jika anak mengembalikan sendiri
maka anak misalnya tidak akan mendapatkan konsekuensi apapun, sebab perbuatan
mengembalikannya sendiri sudah perbuatan baik. Tapi jika anak memilih orangtua
yang mengembalikan, anak boleh diberikan konsekuensi karena dengan demikian
anak tidak mau menanggung tanggung jawab atas perbuatan buruk yang telah
dilakukan. Konsekuensinya bisa berupa penyitaan mainan, time out di kamar, dll
Tentang jenis-jenis konsekuensi baca tulisan abah yang lain "bagaimana
menghadapi perilaku anak yang keras".
Tugas orangtua
selanjutnya adalah melatih siapapun di rumah itu untuk belajar berbagi.
Ceritakan cerita-cerita positif tentang berbagi melalui permisalan binatang,
memakai jari-jari Anda sendiri, menggunakan ballpoint, menggunakan buku,
menggunakan alat-alat lain yang mengenalkan anak tentang cara berbagi. Jika
anak sudah mulai beranjak dewasa ceritakan tentang kehebatan orang-orang besar
di dunia yang memiliki sensitivitas berbagi dan mengasihi seperti Rasululullah
Muhammad, Abu Bakar, Salahudin Al-Ayubi, Mahatma Gandhi, Bill Gates, dll.
b. Siapa yang duluan
& kapan bergantian?
Tingkah
anak-anak kadang bikin geli sekaligus bikin pusing orangtua. Ada saja yang mesti diributkan anak. Ada
beberapa ‘inventaris’ keluarga yang sebenarnya bukan milik seseorang, alias
sebenarnya milih ayah ibu atau milik semua orang di rumah, alias milik bersama,
alias milik umum, diklaim oleh salah seorang anak menjadi seolah-olah menjadi
miliknya. Malah kadang anak-anak ini maunya semuanya milik mereka. Duh!
Rebutan kursi meja
makan, rebutan kursi di mobil, rebutan memeluk ayah, rebutan memeluk ibu, rebutan
diceritakan buku sama orangtua, dan contoh lain akan banyak kita temukan. Nah
jika kasus seperti ini keputusan tertinggi Anda di manajer rumah yang
bertanggung jawab terhadap keutuhan dan aturan main penggunaaan barang milik
umum tadi. Silahkan buat aturan tentang penggunaan ‘inventaris umum’ tadi.
Ada
setidaknya dua metode yang dapat diterapkan: metode SIAPA DULUAN atau metode
JADWAL BERGANTIAN. Metode mana yang mau dipilih, keputusan ada di tangan Anda.
Insya Allah dua-duanya positif sepanjang dibicarakan dengan anak. Jika yang
duluan di kursi depan dekan driver adalah si Kakak, maka adik tidak bisa
menyerobot! Demikian juga sebaliknya, Kakak tak berhak mengusir adik karena
aturannya sudah ditetapkan bukan?
Tetapi, jika Anda
merasa bahwa salah satu anak ‘terlalu cerdas’ sehingga tak pernah kehilangan
akal untuk ‘mengakali’ adik dan akibatnya anak yang lain selalu ‘kalah’, maka
metode SIAPA DULUAN dapat anda ganti dengan metode JADWAL BERGANTIAN. Jika hari
ini yang duduk di depan mobil Kakak, maka keberangkatan berikutnya selalu adik!
Mengenai siapa yang dapat menggunakan duluan, silahkan serahkan pada anak untuk
memutuskan.
c.Boleh intervensi,
saat mulai merugikan
Orangtua boleh
intervensi dan terlibat lebih dalam untuk membantu menyelesaikan konflik anak
jika konflik anak tersebut sudah mengarah pada kekerasan fisik dan kekerasan
verbal yang berlebihan. Saat salah seorang anak hendak memukul anak yang lain,
orangtua harus memegang tangan anak sehingga ia tak jadi memukul.
d.Semua orang boleh marah,
tetapi tidak menyakiti & merusak
Silahkan
terapkan ‘dekrit’ ini di rumah: “Siapapun di rumah ayah dan ibu boleh marah.
Adik boleh marah sama kakak, kakak juga boleh marah sama adik jika merasa
dirugikan. Tetapi, semua orang di rumah ini tidak diterima untuk menyakiti dan
merusak. Mendorong itu menyakiti, memukul itu menyakiti, mencubit itu
menyakiti, menendang itu menyakiti, melempar saudaranya dengan sebuah benda
juga menyakiti. Juga di rumah ini tidak diterima merusak barang saat marah,
melembar piring, gelas, buku, dan barang apapun tidak diterima. Jika ada yang
mau marah silahkan keluarkan lewat mulut, silahkan bicara. Kalau adik tidak
suka dengan perlakuan kakak bilang sama kakak ‘kakak, aku tidak suka!’ atau
sebaliknya.
Memang tak langsung
bisa, tapi bimbing terus anak untuk mengungkap dan mengeluarkan
perasaan-perasaan tidak nyamannya dengan cara yang lebih baik: lewat mulut!
Jika anak-anak kita tak dilatih untuk mengeluarkan emosi-emosi negatifnya
dengan cara yang baik, maka bisa jadi ia memiliki cukup tenaga untuk
mengeluarkannya lewat jalan kekerasan! Latihlah terus anak untuk mengelola
marahnya dengan cara yang baik (anger management).
Turunan dari ini,
orangtua harus menggali dari anak untuk memilih konsekuensi-konsekuensi yang
mungkin akan anak dapatkan jika mereka melanggarnya. Biarkan anak-anak itu yang
memutuskan konsekuensi seperti apa yang mereka akan dapat agar mereka merasa
rugi dengan perbuatan mereka yang merugikan.
Buat tawar menawar
terhadap konsekuensi ini dengan orangtua. Jika anak mengajukan konsekeunsi yang
tak sesuai, orangtua boleh tak menyetujuinya. Misalnya, saat anak memukul, anak
mengajukan konsekeunsi minta maaf. Itu betul, tetapi ini sama sekali belum
tepat. Karena anak akan gampang minta maaf tapi tak merasa rugi betul dengan
perbuatannya yang merugikan. Orangtua juga boleh mengajukan tawaran pada anak
misalnya: siapapun yang menyakiti akan diberikan konsekuensi misalnya:
dikurangi uang jajan, dikurangi jam nonton tv/vcd, metode time out atau
dikeluarkan dari rumah selama 10 menit atau tak boleh keluar kamar selama
setengah jam seperit Nanny 911.
4.Syarat
Melindungi yang Lemah
Salah satu metode
yang termasuk paling sering diterapkan oleh orangtua adalah bahwa KAKAK HARUS
MENGALAH SAMA ADIK. Argumen utamanya: adik masih lemah! Maka yang kuat harus
melindungi yang lemah! Atau adiknya masih belum mengerti, yang sudah mengerti
harus mengalah pada yang belum mengerti.
Argumen ini dapat
dibenarkan tetapi harus hati-hati menerapkannya. Yang ideal adalah tetap
menegakkan aturan-aturan jelas seperti di point ketiga. Tetapi jika orangtua
menganggap sang adik masih terlalu lemah dan terlalu sulit untuk mengerti dan
diberi penjelasan, orangtua boleh menggunakan METODE MELINDUNGI YANG LEMAH ini
dengan beberapa syarat:
a.Lakukan pembatasan
Saat orangtua
menerapkan metode yang kuat mengalah pada yang lemah atau yang mengerti
mengalah pada yang belum mengerti, orangtua harus memberikan ‘SOP’ yang jelas
sampai kapan adik masih dianggap lemah sehingga belum dapat mengendalikan
keinginannya secara wajar dan sampai usia berapa adik mash dianggap belum
mengerti.
Jika Anda bertanya
kepada saya kira-kira kapan anak-anak tidak boleh lagi dibela, saya akan
menjawabnya saat anak-anak sudah bisa membedakan mana tangan kanan dan mana tangan
kirinya, kira-kira usia 3-5 tahun bergantung kemajuan perkembangan mental anak.
Karena ketika mereka sudah bisa membedakan mana tangan kanan dan mana tangan
kiri, sejak saat itulah anak-anak sudah dapat menyerap nilai-nilai dan sudah
dapat membedakan mana baik dan mana yang buruk atau mana yang benar dan mana
yang salah. Anda dapat mengatakan pada si Kakak “Ayah janji, nanti kalau adik
sudah umur 3 tahun atau saat adik sudah bisa tau tangan kanan dan kirinya, ayah
takkan bela adik lagi!”
b.Berikan reward
lebih pada si Kakak yang mengalah
Pemberitahuan
bahwa si adik akan dibela secara terbatas sampai usia tertentu bagi si kakak
sebetulnya belumlah cukup. Karena itu, kuatkan dengan cara memberi reward lebih
pada si kakak saat si kakak mau mengalah pada adik. Reward itu tidak harus
selalu berbentuk materi atau hadiah berupa benda atau barang yang ia sukai.
Kalimat-kalimat positif dapat orangtua keluarkan saat itu juga, di TKP, saat
orangtua memergoki kakak ternyata mau mengalah sama adik. “Sini sayang... mama
mau bisik-bisik... kakak hebat, kakak memang anak mama yang paling mengerti,
tidak seperti adik, adik dibilangi gimana juga sama mama, aduhh pokoknya susah,
belum sepintar kakak ya! Insya Allah mama takkan bela lagi adik kalau adik
sudah pintar kayak kakak!”
Reward juga dapat
berupa pemberitan otoritas lebih pada si kakak untuk melakukan sesuatu, yang
belum dapat diberikan pada adik. Misalnya kakak dapat diberikan uang saku dan
diberikan otoritas penuh untuk menggunakan uang saku itu sendiri, sementara
adik belum dapat diberikan uang saku. Atau contoh lain Kakak dapat memilih VCD
nya sendiri sepanjang aman dan disetujui ayah ibu sementara adik belum boleh
membeli VCD. Dengan pemberian reward lebih ini, sang kakak akan merasa bahwa
tidak rugi ia mengalah sama adik karena pada banyak hal lain ia justru
diberikan kelebihan dan kewenangan lebih orangtuanya.
5.Fokuskan pikiran
anak pada saling mencintai
Semua orang ingin
anaknya saling mencintai daripada saling memusuhi. Tetapi masalahnya adalah sebagian
orangtua lebih memperhatikan anak saat mereka bermusuhan daripada saat mereka
saling menyayangi. Maksud saya adalah sebagian orangtua lebih banyak ngomong
saat anak-anaknya berantem daripada saat anak-anaknya bermain bersama. Karena
itu, fokuskan pikiran anak agar saling mencintai saudaranya antara lain dengan
beberapa cara:
a.Berikan perhatian
pada saat mereka bekerjasama dibandingkan saat mereka berantem
Sebagian
orangtua justru memperhatikan anak dan terlalu banyak bicara pada anak saat
mereka berantem ketimbang saat mereka bekerjasama. Jika seperti ini yang
dilakukan secara tak sadar orangtua justru tengah memfokuskan anak untuk
semakin sering berantem dibandingkan menyukai bekerjasama.
Agar anak lebih
menyukai bekerjasama daripada berantem, fokuskan pikiran anak pada bekerjasama
daripada pada berantem. Caranya adalah dengan banyak memperhatikan anak dan
memberi komentar positif ketika mereka sedang bermain bersama tanpa bertengkar,
daripada pada saat mereka berantem. Misalnya dengan mengatakan, ”Pintarnya
Kakak dan Adik main bersama,” atau, ”Kalian berdua rukun sekali, Bunda senang
deh.” Dan kurangi untuk memberikan terlalu banyak komentar pada saat mereka
berantem dengan sering mengatakan “Aduh! Kalian ini kok senangnya berantem!”
b.Mempersiapkan
mental kakak sebelum kelahiran adik
Jauh sebelum
anak kedua lahir, Anda bisa melibatkan si calon kakak dengan aktivitas yang
berhubungan dengan menyambut kehadiran adik barunya. Installkan
informasi-informasi positif tentang enaknya punya adik, fokuskan pada
kebaikan-kebaikan yang akan kakak dapatkan jika adik lahir. Bahwa akan ada
teman baru untuk si kakak di keluarga kelak. Bahwa kakak bisa lebih banyak
asyik lagi bermain. Bahwa si adik dapat menjadi seperti ‘boneka’ untuk si
kakak. Banyak si kakak yang seperti ‘berubah’ perilakunya setelah adik lahir
akibat kurangnya orangtua memersiapkan mental si kakak pada saat kelahiran
adik.
c.Latih
BERMUSYAWARAH
WA’TAMIRUU
BAINAKUM BIMA’RUUF, dan musyawarahkanlah diantara kamu dengan baik, demikian
perintah Allah kepada manusia saat menghadapi konflik seperti tercantum dalam surat ke-65: At-Tholaq
ayat 6. Latihlah terus anak-anak bermusyawarah saat mereka mendapatkan
perbedaan dalam sebuah masalah. Biarkan mereka mengambil keputusan atas
perselisihan yang mereka buat. Tidak mudah memang, tapi semakin sering dilatih,
insya Allah anak-anak kita semakin terlatih untuk bermusyawarah.
Orangtua boleh
melakukan sedikit penekanan saat mereka enggan bermusyawarah saat salah satu
atau semua anak kita BERSIKAP maunya menang sendiri. Metode yang dapat
dilakukan misalnya, dengan mengeluarkan anak keluar rumah sementara dan
mempersilahkan untuk menyelesaikan masalahnya di luar. Anak-anak baru
diperbolehkan masuk ke dalam rumah jika mereka sudah mendapat keputusan bersama
atas perselisihan yang mereka lakukan. Saat mereka berebut kursi di dekat
driver, orangtua dapat mengatakan bahwa mobil tidak akan majukan atau tidak
akan berangkat sampai mereka membuat keputusan.
*Tulisan ini dikutip
dari buku best seller "Sudahkah Aku Jadi Orangtua Shalih?"
----------------------------------------------------------------------------------------
mungkin cara pandang yg perlu diubah terhadap anak :
drpd menganggapnya "tdk bisa diam" mending "energik"
drpd menganggapnya "pemimpi" mending "imajinatif"
drpd menganggapnya "gampang bosan" mending "inovatif"
drpd menganggapnya "pengrusak" mending "kreatif"
drpd menganggapnya "tukang cora-coret" mending "seniman"
drpd menganggapnya "suka keluyuran" mending "supel/gampang bergaul"
drpd menganggapnya "tidak fokus" mending "serba bisa"
drpd menganggapnya "susah diatur" mending "mandiri"
----------------------------------------------------------------------------------------
mungkin cara pandang yg perlu diubah terhadap anak :
drpd menganggapnya "tdk bisa diam" mending "energik"
drpd menganggapnya "pemimpi" mending "imajinatif"
drpd menganggapnya "gampang bosan" mending "inovatif"
drpd menganggapnya "pengrusak" mending "kreatif"
drpd menganggapnya "tukang cora-coret" mending "seniman"
drpd menganggapnya "suka keluyuran" mending "supel/gampang bergaul"
drpd menganggapnya "tidak fokus" mending "serba bisa"
drpd menganggapnya "susah diatur" mending "mandiri"